Malaysia mengalami krisis identitas bangsa?

Pemberian kemerdekaan kepada persekutuan malayaHarian Republika, tanggal 31 Agustus lalu secara gamblang menuliskan tentang Malaysia, yang seringkali melakukan klaim kepemilikan terhadap aset budaya indonesia. Jika dirunut, memang sudah banyak klaim malaysia, mulai dari makanan, pakaian, seni tari, seni musik, lagu daerah asli indonesia namun dijadikan obyek budaya negeri itu.  Bila ditelusur, mulai dari makanan rendang, baju batik, angklung, tari pendet serta lagu daerah (rasa sayange) telah muncul di media malaysia.

Namun seperti kebanyakan media lainnya, tanggapan yang diberikan lebih bersifat reaktif daripada memahami mengapa hal tersebut dapat terjadi di malaysia. Tulisan atau aksi yang muncul lebih mengutamakan aksi reaktif indonesia, seperti menuntut malaysia agar mencabut gugatan, mematenkan budaya asli indonesia, melakukan sweeping terhadap warga malaysia, atau yang lebih ekstrim melakukan konfrontasi langsung seperti halnya jaman Soekarno tahun 60 an.

Jika melihat dari sudut pandang yang berbeda, penulis justru melihat masalah yang ada bukanlah pada Indonesia, tetapi masalah terbesar justru ada di Malaysia. Kenapa? Karena klaim atau keinginan memiliki suatu budaya menunjukkan bangsa/rakyat malaysia mengalami masalah besar dalam identitas bangsa. Kemajuan ekonomi yang dicapai malaysia, yang diawali dengan NEP (New Economy Policy) Abdul Razak, lalu diteruskan Mahathir, telah membawa malaysia dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang maju. Namun sayangnya, kemajuan tersebut tidak dibarengi pembentukan identitas budaya.

Awal sejarah

Masyarakat malaysia, terdiri dari 60% suku melayu, 20% etnis cina dan sisanya dari india, tamil. Secara kultural, sebagian besar masyarakat malaysia berasal dari nenek moyangnya dari sumatera  dan sebagian dari sulawesi (bugis/makasar). Sebelum menjadi kerajaan malaysia, merupakan negeri semenanjung melayu, yang pada abad 10, banyak kerajaan bermunculan di semenanjung melayu dengan kekayaan alam yang melimpah telah menarik minat penjajah baik dari portugis, belanda dan inggris untuk menguasai seluruh menanjung.

Inggris raya merupakan salah satu negara yang sangat agresif dan merebut kerajaan maupun pemukiman di semenanjung melayu. Karena banyaknya perang saudara, gangguan persekutuan /koalisi dengan etnis cina, maka inggris dijadikan perantara menyelesaikan masalah di negeri semenanjung maupun selat. Dengan posisi ini,  inggris makin menguasai negeri melayu antara lain Perak, Pahang, Selangor dan Negeri Sembilan. Sedangkan di borneo (kalimantan) yakni negeri sabah dan Serawak akhirnya juga menjadi wilayah koloni inggris.

Pada perang Dunia ke II, keinginan rakyat malaka untuk memerdekakan diri makin kuat. Inggris, yang menjadi penguasa di wilayah koloni tersebut, merespons dengan syarat ketat yakni negeri yang berdiri harus menjadi wilayah persemakmuran (commonwealth) dan kewajiban membayar semacam pajak (upeti) kepada inggris raya setiap tahun.  Tahun 1957, jadilah sebagai hari ‘kemerdekaan’, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai pemberian dari inggris raya kepada rakyat malaka dengan nama persekutuan malaya, selanjutnya menjadi malaysia.

Dari sini terlihat jelas, perbedaan tajam antara kemerdekaan Indonesia, yang diperoleh dengan tumpah darah dan perjuangan sekian ratus tahun sampai dengan tanggal bersejarah 17 agustus 1945, dengan awal munculnya persekutuan malaya yang diperoleh karena ijin Inggris Raya.

Krisis Identitas dan perasaan inferior

Dengan faktor sejarah diatas, terlihat bahwa memang belum ada budaya kuat yang bisa menyatukan bangsa malaysia. Bahasa melayu yang digunakan berasal dari sumatera, namun dengan pengaruh koloni inggris, etnis cina maupun india dan tamil, maka bahasa inggris, cina dan india juga sering digunakan dalam percakapan resmi. Jika indonesia memiliki bahasa persatuan yakni bahasa indonesia yang juga berakar dari bahasa melayu dan  telah berakulturasi dengan berbagai bahasa daerah, maupun luar seperti jawa, arab, madura namun di malaysia tidaklah memiliki hal demikian. Bangsa malaysia merasa tidak komplit menjadi bangsa malaysia tanpa identitas budaya. Seperti ada rasa kehilangan, namun mereka juga tidak bisa mencomot misalnya bahasa inggris sebagai bahasa persatuan karena faktor sejarah kolonisasi, atau juga bahasa cina/mandarin karena faktor akar sejarah.

Di samping itu, pengekangan politik dan ekspresi di negara malaysia juga sangat intens. Diberlakukannya ISA (internal security act), memungkinkan penangkapan seseorang yang dianggap mengganggu ketertiban dan kestabilan negara. Anwar Ibrahim, yang pernah menjabat sebagai Deputi PM adalah contoh nyata pemberlakuan ISA, sehingga harus menderita di penjara dan diperlakukan selayaknya kriminal dengan tuduhan yang amat keji yakni (maaf) homosex, walaupun tak terbukti di pengadilan. Kebebasan pers, ekspresi, maupun kreatifitas di sana akhirnya terpasung, walhasil industri kreatif  di sana tidaklah berkembang dengan baik seperti Indonesia.

Sudah menjadi kenyataan umum bahwa industri kreatif indonesia berjaya (bahasa malaysia) di sana. Lebih dari 80% lagu pop indonesia amat disukai masyarakat sana, sehingga mempersulit artis lokal malaysia untuk mendapatkan pangsa pasar. Peter Pan, Ungu, Padi, Krisdayanti sebagai contoh nama artis indonesia,  yang setiap kali konser di malaysia mendapat sambutan hangat sehingga sempat terjadi larangan konser maupun pemutaran lagu indonesia oleh kementrian sana di radio-radio malaysia karena kuatnya dominasi lagu indonesia. Sekali lagi, ini membuktikan ketiadaan identitas lokal yang menjadi kebanggaan bangsa malaysia. Mungkin, rasa inferior telah menghinggapi sebagian besar masyarakat malaysia.

Budaya faktor pemersatu

Sebagai suatu negara atau dalam konteks organisasi, maka selayaknya memiliki dua aspek ciri. Ciri pertama adalah aspek fisik yang relatif terlihat, seperti bentuk pemerintahan, penduduk, kekayaan alam, demografi dan kondisi geografi. Kemudian aspek non fisik yang relatif tidak terlihat tapi dapat dirasakan yakni nilai-nilai masyarakat, budaya, norma yang berlaku maupun ikatan/kohesi sosial.

Suatu negara tidaklah bisa hanya mengandalkan aspek fisik semata. Kedua aspek diatas hendaknya dimiliki secara proporsional agar dapat menjadi negara yang kuat dan maju. Di negara malaysia, aspek fisik terlihat unggul yakni kemajuan dan ekonomi mereka. Namun karena ketiadaan atau lemahnya di aspek non-fisik, atau dengan kata lain mereka menghadapi krisis identitas budaya, mereka menjadi agresif dalam mengklaim kepemilikan suatu budaya yang tentunya ditunjang kekuatan fisik mereka karena kemajuan ekonomi yang telah diraih.

Sedangkan indonesia, mewarisi kebudayaan yang amat beragam dan kaya. Sejarah Indonesia, yang dimulai dari persatuan nasional pertama (sriwijaya), persatuan nasional kedua (majapahit), selanjutnya era kerajaan islam sampai timbulnya negara kesatuan RI sebagai persatuan nasional ketiga telah meninggalkan beragam peninggalan yang sangat kaya baik secara fisik maupun non fisik kepada bangsa indonesia. Keragaman dan kekayaan ini telah membuat bangsa lain menjadi iri sampai harus mengaku kepemilikan budaya tersebut. Dan perlu diketahui, Indonesia adalah satu dari tiga negara (Indonesia, aljazair, vietnam) yang memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan melawan penjajah.

Karena itu, sudah seharusnya bangsa indonesia menyatukan diri dan bangga terhadap prestasi yang telah dicapai selama ini, terlepas dengan adanya gangguan/klaim dari negara tetangga tersebut. Penguatan pada nilai-nilai, norma atau ikatan sosial yang telah ada dan menjadi budaya bangsa sudah seharusnya diperkuat dan ditingkatkan kembali, sehingga menjadi faktor pemersatu suatu entitas organisasi dalam konteks ini yakni negara indonesia.

3 pemikiran pada “Malaysia mengalami krisis identitas bangsa?

Tinggalkan komentar